fb_like_box { -moz-border-radius:5px 5px 5px 5px; border-radius:10px; background:#f5f5f5; border:1px dotted #ddd; margin-bottom:10px; padding:10px; width:500px; height:20px; }

Kamis, 30 April 2009

LANGIT MAKIN MENDUNG

Oleh Donny Anggoro

Kipandjikusmin, pengarang yang sampai kini masih
misterius sempat menghebohkan dunia sastra kita.
Cerpennya Langit Makin Mendung (LMM) lantas menyeret
redaktur majalah Sastra H.B Jassin ke meja hijau.
Cerpen yang dimuat di majalah Sastra 8 Agustus 1968
mengundang reaksi umat Islam. Ratusan eksemplar
majalah Sastra oleh Pihak Kejaksaan Tinggi Sumatera
disita di berbagai toko, agen dan pengecer di kota
Medan. Kantor majalah Sastra diberangus dan dicoreti
dindingnya dengan pelbagai penghinaan. Di Jakarta Umar
Kayam, Taufiq Ismail, Trisno Sumarjdo, D.Djajakusuma
dan Slamet Soekirnanto menyatakan protes atas
penutupan majalah Sastra.
Tiga puluh enam tahun berlalu sosok Kusmin masih
teka-teki. Polemik yang terus berkelanjutan antara
kebebasan mencipta dan agama ini dengan segera
mencatatkan sejarah sastra Indonesia laiknya
kontroversi novel Lolita Vladimir Nabakov dan Lady
Chatterley?s Lover D.H Lawrence yang dianggap porno.
H.B Jassin, sang redaktur Sastra berkeras tak
mengungkap identitas Kusmin dengan berpegang pada UU
Pers 1966: ?bila sang pengarang tidak membuka
identitasnya redaksi mempunyai hak tolak
memberitahukan identitas pengarang sesungguhnya.? Di
pengadilan H.B Jassin mengaku selama ini hanya
berhubungan lewat surat. Konon selama berhubungan,
alamatnya selalu berpindah-pindah mulai dari Jakarta,
Probolinggo, Singapura dan Surabaya. Begitu
mati-matiannya Sang Paus Sastra membela Kusmin hingga
terbetik gosip dia sendirilah sosok pengarang
misterius itu.
Kipandjikusmin sendiri bukannya tak tinggal diam.
Pengarang misterius ini lewat redaksi Harian Kami
tertanggal 22 Oktober 1968 mengeluarkan pernyataan
mencabut cerpennya dan menganggapnya tak pernah ada.
Berikut pernyataannya: ?Sebermula sekali bukan maksud
saya menghina agama Islam. Tujuan sebenarnya adalah
semata-mata hasrat pribadi saya mengadakan komunikasi
langsung dengan Tuhan, Nabi Muhammad S.A.W, sorga.
dll. Di samping menertawakan kebodohan di masa rezim
Soekarno. Tapi rupanya salah menuangkannya ke dalam
bentuk cerpen. Alhasil mendapat tanggapan di kalangan
umat Islam sebagai penghinaan terhadap agama Islam.?

***
Kepada majalah Ekspres pimpinan Goenawan Mohammad
tahun 1970 Kusmin pernah mengatakan sebenarnya tak ada
niat menjadikan dirinya misteri. Ia bahkan bersedia
tampil saat itu. Karena melihat Jassin begitu
membelanya mati-matian di pengadilan ia merasa tak
pantas melangkahi orangtua, kilahnya.
Dari wawancara majalah tersebut akhirnya terungkap
nama asli si pengarang, yaitu Soedihartono lewat
perbincangannya dengan Usamah, redaktur pelaksana
Ekspres. Kusmin menempuh pendidikan di Akademi
Pelayaran Nasional. Selama 6 tahun ia menjalani wajib
dinas di Jakarta.
Cerpen LMM sebenarnya adalah representasi kejengkelan
Kusmin pada situasi Indonesia di masa Nasakom. Karena
personifikasi Nabi Muhammad S.A.W sebagai ?Tuhan yang
memakai kacamata model kuno terbuat dari emas?
cenderung kasar dan tak metaforik, menurut Taufiq
Ismail dalam Beberapa Pikiran tentang Pelarangan
Sastra (harian KAMI, No. 688, 25 Oktober 1968) gagal
secara literer. ?Kalau dia Islam, maka kebebasannya
berfantasi sudah sampai kepada kekeliruan besar dalam
aqidah. Bukan mustahil dia bukan Islam, maka dia
terlalu jauh masuk ke daerah fantasi ini yang juga
salah besar penggarapannya,? tulis Taufiq.
Marwan Saridjo, akademisi Institut Agama Islam Negeri,
Ciputat menganggap persoalan LMM adalah hipokrisi
wajah sastra keagamaan. Dalam tulisannya di Pandji
Masyarakat, Oktober 1969 ia mengimbau, ?Mari kita
pecahkan persoalan ini seraya mengikis dan melenyapkan
segala hipokrisi dalam wajah sastra keagamaan, entah
itu datangnya dari pengarang berpredikat agama (ulama,
pendeta) pun hipokrisi pada tren sementara pemawas
sastra kita yang dianggap prominem dewasa ini,?
Yahya Ismail, seorang penulis Malaysia turut
berpolemik dalam Sekitar Langit Makin Mendung
(Indonesia Raya Minggu, 24 November 1968) menganggap
kontroversi LMM sebagai ketidakberdayaan Indonesia
dalam mengambil tindakan. Ia memberi contoh lewat
karangan ilmiah James L. Peacock di majalah Indonesia,
4 Oktober 1967, Peacock membuktikan bahwa ludruk
memperlihatkan gejala anti-Islam dalam pementasannya.
Observasi ini, tulis Yahya, konon dilakukan Peacock
saat berada di Indonesia tahun 1963 jauh sebelum
cerpen LMM muncul.
Ia membandingkan sajak penyair Malaysia, Kassim Ahmad
yang sempat menjadi polemik dalam konteks menghina
Islam. Menurutnya, personifikasi Kusmin di LMM tak
sebanding tiga sajak Kassim Ahmad. Tulisan Yahya
dibantah Jusuf Lubis dengan fakta bahwa umat Islam
pernah memprotes pentas Ludruk Marhaen yang dianggap
menghina Islam (Angkatan Baru, 12 Desember 1968).
Sedangkan Mochtar Lubis dalam Kebebasan Berpikir
(Horison, Tahun IV No.1, Januari 1969) mengatakan
kasus penutupan majalah Sastra dengan dimuatnya LMM
adalah akibat sikap ketidaktoleran dunia pemikiran,
bak ilmuwan Galileo di masa silam nyaris dibakar
karena mengatakan bumi mengelilingi matahari.
?Yang saudara adili di sini bukan saya, bukan Kusmin,
bukan LMM. Yang saudara adili di sini ialah imajinasi.
Maka yang berkepentingan bukanlah saya atau Kusmin
saja, tapi seniman kita yang mempunyai imajinasi itu.
Saudara sedang mengadili imajinasi kreatif yang sedang
menuntut kebebasannya demi kemajuan seni dan
pemikiran,? tulis Jassin dalam pleidoinya di
pengadilan, 2 September 1970.
Wiratmo Sukito dalam Karya Seni sebagai Iriil (Sinar
Harapan, 18 Desember 1968) menganggap pembelaan Jassin
kurang menjelaskan apakah imajinasi Kusmin tak
berhubungan dengan kenyataan. Meski tak bermaksud
membela Kusmin, ia mengingatkan apa pun yang terjadi
dalam proses mencapai tingkat di mana alam adalah
transenden, karya seni yang tak nyata adalah potensial
meletakkan ide besar dalam sejarah kehidupan.

***
Setelah 36 tahun berselang apa yang bisa kita
renungkan dari kontroversi LMM? Apakah setelah 36
tahun silam kehidupan sastra kita telah bersikap
toleran sewajarnya dalam dunia pemikiran? Memang,
pintu kebebasan telah terbuka. Tapi, di masa kini
sastra yang seharusnya tengah mendapat angin tak
lantas menjadi kaya dengan kreativitas. Legimitasi
kepengarangan yang ada celakanya malah cenderung
non-artistik sepeti merujuk pada komunitas tertentu
walau regenerasi kepengarangan seolah sedang
bergairah.
Sementara kebebasan sastra jauh dari kualitas, para
pemain baru yang potensial malah sibuk meleburkan diri
agar setidaknya masuk dalam lingkaran kekuasaan
hegemoni ?politik sastra?. Hipokrisi memang tak lagi
riuh dari wajah sastra keagamaan seperti kasus Kusmin,
melainkan datang dari sastrawan sendiri yang sibuk
bersolek dari urusan non-artistik selain sikap pemawas
sastra kita yang tak tekun. Legimitasi kepengarangan
berlebihan malah membuat kita tak percaya akan fungsi
utama sang kritikus sebagai medium antara masyarakat
peminat sastra dan seniman.
Pertanyaan mengusik, apakah kebebasan wajah sastra
kita lantas seperti kaum agelaste yaitu menerima
ide-ide tanpa berpikir laksana cetusan Milan Kundera
dalam Art of Novel? Kebebasan sastra sebaiknya tak
menjadi sia-sia dan sewajarnya dilihat sebagai
kesempatan memperbaiki lingkungan kita.
Rawamangun, April 2004.

Penulis adalah editor sebuah penerbit tinggal di
Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JUJURLAH PADA MEREKA YANG ANDA KASIHI

KALENDER