fb_like_box { -moz-border-radius:5px 5px 5px 5px; border-radius:10px; background:#f5f5f5; border:1px dotted #ddd; margin-bottom:10px; padding:10px; width:500px; height:20px; }

Kamis, 06 Mei 2010

CERPEN KERINGAT = AIR MATA

copyright2010 : Mohammad Ridwan

...
Allahuakbar Allahuakbar
Laailaahaillallah
Suara merdu pak Karto mengumandangkan iqomat membangunkan Anto dari tidurnya. Segera dilipatnya selimut biru itu. Diletakkannya selimut itu di atas amben beralas tikar tempatnya tidur. Beranjak Anto dari kamarnya segera menuju sumur untuk menimba air. Terlihat si Mbok tengah berdoa setelah salat subuh. Anto pun segera mengambil sarung dan peci hitamnya yang terletak di dalam almari. Salatlah ia.
Sudah menjadi kebiasaan Anto belajar pagi hari. Dari dalam kamarnya terdengar suara batuk si Mbok yang sedang memasak. Ya, pagi-pagi sekali si Mbok memasak karena siangnya dia harus menjual kayu bakar buat kehidupan mereka dan biaya sekolah Anto. Si Mbok sudah ditinggal suami untuk selama-lamanya ketika Anto berusia lima tahun. Maka dari itu, Anto yang sekarang sudah kelas tiga Sekolah Menengah Atas sering membantu si Mbok mencari kayu bakar untuk dijual.
Usai belajar, Anto membantu si Mbok menimba air dan megikat kayu bakar yang akan dibawa si Mbok ke pasar. Sembari mengikat kayu-kayu itu tercium wangi nasi yang sudah mulai masak. Ditambah lagi wangi ikan asin yang digoreng si Mbok membuat perut Anto makin bergoyang. Anto mandi dan bersiap untuk berangkat ke sekolah. Tak lupa disantapnya nasi dengan ikan asin itu bersama si Mbok.
“Anto berangkat ya Mbok,” pamit Anto.
“Iya, hati-hati, belajar seng bener,” sahut si Mbok.
Diciumnya tangan si Mbok.
“Assalamualaikum,” Anto mulai beranjak meninggalkan rumah.
“Waalaikumussalam,” balas si Mbok.
Tak lama dari keberangkatan Anto, si Mbok pun berangkat dengan menggendong kayu bakar ke pasar.
Minggu pagi itu sungguh berbeda. Anto dan si Mbok bangun kesiangan. Untung saja masih ada waktu untuk melaksanakan salat subuh. Segala kegiatan yang biasa dilakukan ketika pagi serentak berubah. Pun dengan kebiasaan Anto belajar di pagi hari. Si Mbok tergesa-gesa menyiapkan sarapan. Usai salat, Anto langsung keluar kamar. Dilihatnya si Mbok berusaha menyalakan api tungku dari tanah liat itu. Tak kunjung menyala api itu. Anto mencoba membantu dengan meniupnya. Sempat terengah napas Anto karena lapar. Menyala juga api yang diharapkan itu. Segera si Mbok menanak nasi. Anto menimba air dan mengikat kayu-kayu bakar seperti biasanya. Ketika mengikat kayu-kayu itu, dilihatnya si Mbok mengaduk-aduk nasi di dandang. Uap yang memanasi wajahnya lebur dalam peluh. Baju dengan sedikit robekan di bawah ketiaknya terlihat mulai dibasahi keringan lelah. Hati anto berbisik. “Anto, lihat Mbokmu. Dengan semangatnya bekerja, dengan keringatnya, dia akan mengantarkan dirimu lulus dari bangku SMA. Satu bulan lagi Anto.”
“Ya, Kelak aku menjadi sarjana, akan kubuat si Mbok bangga denganku. Tuhan, dengar doaku,” harap Anto.
“Le, cepat mandi. Setelah sarapan, kamu bantu mbok bawa kayu-kayu itu ke pasar,” suara si Mbok mengejutkan Anto.
“Iya, Mbok,” jawab Anto.
***
Satu bulan sudah berlalu. Ujian akhir pun sudah diselesaikan. Bahkan, hasil ujian telah diterima siswa, termasuk Anto dengan nilai terbaik di sekolahnya dan mendapat beasiswa untuk melanjutkan ke perguruan tinggi di kota. Hari ini si Mbok tidak berangkat ke pasar karena tadi pagi badannya sedikit kurang sehat. Tergesa-gesa Anto pulang dari sekolah. Dia masih teringat kondisi si Mbok ketika ia tinggalkan tadi pagi. Sesampainya di rumah, Anto mengetuk pintu sambil mengucap salam. Sampai tiga kali Anto mengucap salam tak ada jawaban dari dalam. Darah Anto mulai berdesir. Dia takut sesuatu terjadi pada si Mbok. Karena tidak ada tanda-tanda seseorang menjawab salamnya dan membuka pintu, Anto mencoba membuka pintu itu. Pintu pun tak terkunci. Betapa terkejutnya Anto. Segera ditujunya bilik si Mbok. Semakin kencang desiran darahnya ketika tak didapatinya si Mbok di kamar itu. Bergegas dia ke dapur.
“Oh, syukurlah. Ternyata si Mbok sedang mencuci sayur,” gumamnya sambil mengatur detak jantungnya.
“Sudah pulang le?” tanya si Mbok.
“Iya, Mbok,” Jawabnya sambil mengatur napas.
“Makan dulu le, nanti mbok siapkan sayurnya,” sahut si Mbok.
Anto menuju kamarnya untuk berganti pakaian. Tak tega ia menceritakan tentang apa yang didapatkannya di sekolah.
“Anto, Makan dulu!” Panggil si Mbok.
“Iya, Mbok,” jawab Anto sambil menuju dapur.
Ketika makan, si Mbok menanyakan hasil ujian Anto. Berdegup hatinya mendengar pertanyaan itu. Susah mulutnya untuk berujar. Walau demikian, disampaikannya juga apa yang ia dapatkan di sekolah. Terlihat dia mata si Mbok ada air yang memaksa keluar. Namun, air itu tetap tertahan di sana.
“Kapan kamu ke kota?” Tanya si Mbok.
“Minggu depan mbok,” jawab Anto.
Malam sebelum keberangkatan ke kota, Anto tampak gelisah. Ia tak ingin meninggalkan si Mbok sendirian. Ia tak ingin berpisah dengan si Mbok. Namun, dalam hatinya tertanam bahwa ia harus mengubah hidupnya dan si Mbok. Ia tak ingin menyia-nyiakan keringat si Mbok selama ini. Sikap si Mbok yang sederhana, hatinya yang luhur dan mulia akan Anto jadikan pegangan di kota. Di luar kamarnya, si Mbok mempersiapkan segala sesuatu yang akan dibawa Anto. Itu pun seadanya.
Dengan tas hitam besar di punggungnya, Anto siap untuk berangkat. Tangisan perpisahan keduanya tak terbendung. Dipeluk, diciumnya kening dan tangan si Mbok.
“Mbok, aku berangkat. Doakan aku agar berhasil dan tidak sombong kelak,” ucap Anto sambil menahan sisa-sisa air matanya.
“Pasti mbok doakan le,” sahut si Mbok dengan tangisannya.
Anto mulai melepaskan pelukan si Mbok. Melangkah kakinya untuk keluar dari rumah itu.
“Assalamualaikum,” kata-kata terakhir yang keluar dari mulut Anto kala itu.
Dengan anaknya berhasil, sambil mengusap air matanya, si Mbok menjawab “waalaikumussalam.”


Melangkahlah!
Doa ibu menyertaimu
Bandarlampung, 4 Mei 2010 14:55 PM

4 komentar:

JUJURLAH PADA MEREKA YANG ANDA KASIHI

KALENDER